Thursday 21 June 2012

WARIS - Tugas PAI


BAB II. PEMBAHASAN
A.    Definisi Waris
Secara bahasa, waris berarti berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Pengertian menurut bahasa ini mencakup pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda dan nonharta benda. Sedangkan menurut istilah, waris berarti berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.

B.     Sebab-sebab Timbulnya Waris-mewarisi
Berkenaan dengan pembagian harta warisan ini terdapat tiga sebab:
1.      Perkawinan
Jika salah seorang dari pasangan suami-istri meninggal dunia, maka dia meninggalkan warisan kepada yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : ”Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” (An-Nisaa’ : 12)
2.      Hubungan darah
Mereka inilah yang disebut dengan hubungan keturunan yang sebenarnya, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT : “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah…” (Al-Ahzab : 6)
3.      Wala’
Biasa disebut nasab hukmi, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW : “Wala’ itu satu pertalian daging seperti pertalian daging nasab (keturunan).” (HR. Ibnu Hibban, Hakim dan Ad-Darimiy)
Wala’ dibagi menjadi dua macam :
a.       Wala’ yang merupakan hubungan kekerabatan yang ditetapkan syari’at antara orang yang memerdekakan dengan hamba yang dimerdekakan.
b.      Wala’ yang merupakan perjanjian antara dua orang, dimana masing-masing akan mewarisi jika salah satu dari keduanya meninggal.
C.    Ahli Waris
Berikut ini ahli waris berdasarkan urutan dan derajatnya :
1.      Ashhabul furudh, adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.
2.      Ashabat nasabiyah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah), yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya, anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung.
3.      Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli waris masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan karena adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan lainnya.
4.      Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksudkan kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim—tidak termasuk ashhabul furudh juga ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara bibi), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
5.      Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.
6.      Ashhabah karena sebab, ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun budak perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan sebagai ashabah.
7.      Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris, adalah orang lain, artinya bukan salah satu dari ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal, ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya.
8.      Baitulmal (kas Negara)
Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat, maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.

a.       Yang berhak mendapat bagian setengah dari harta warisan adalah:
-          Suami, yaitu apabila istri yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan tidak ada anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
-          Anak perempuan tunggal, atau tidak mempunyai saudara yang lain.
-          Anak perempuan dari anak laki-laki, yaitu jika tidak memiliki anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan.
-          Saudara perempuan kandung, yaitu ketika ia seorang diri serta tidak ada orang yang menghalanginya.
b.      Yang berhak mendapat bagian seperempat dari harta warisan adalah:
-          Suami, jika istri yang meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau perempuan dan atau meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
-          Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau tidak juga anak dari anak laki-laki (baik laki-laki atau perempuan).
c.       Yang berhak mendapat bagian seperdelapan dari harta warisan adalah:
-          Istri atau beberapa istri (tidak lebih dari empat orang), jika suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau anak dari anak laki-laki (laki-laki atau perempuan).
d.      Yang berhak mendapat bagian dua pertiga dari harta warisan adalah:
-          Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki.
-          Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang dari perolehan warisan.
-          Dua orang saudara perempuan kandung (seibu seayah) atau lebih, yaitu jika tidak ada ahli waris lain yang menghalanginya.
-          Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, yaitu ketika tidak ada saudara perempuan kandung serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan.
e.       Yang berhak mendapat bagian sepertiga dari garta warisan adalah:
-          Ibu, jika yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau perempuan), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan.
-          Dua saudara atau lebih yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan, jika tidak ada orang lain yang berhak menerima.
f.       Yang berhak mendapat bagian seperenam dari harta warisan adalah:
-          Ayah si mayit, jika yang meninggal tersebut mempunyai anak atau anak dari anak laki-lakinya.
-          Ibu, jika dia mempunyai anak atau anak dari anak laki-lakinya, atau beserta dua saudara kandung atau lebih, baik saudara laki-laki maupun perempuan yang seibu seayah, seayah saja, atau seibu saja.
-          Kakek (ayah dari ayah), yaitu jika beserta anak atau anak dari anak laki-laki, dan tidak ada ayah.
-          Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah), jika tidak ada ibu.
-          Satu orang anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) atau lebih, yaitu ketika bersama-sama dengan seorang anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yanh menghalanginya.
-          Saudara perempuan yang seayah. Yaitu, ketika bersama-sama dengan saudara perempuan yang seibu seayah (kandung), serta tidak ada ahli waris lain yang menghalanginya.
-          Saudara laki-laki atau perempuan seibu, yaitu jika tidak ada yang menghalangi.

Selanjutnya berikut ini merupakan penjelasan mengenai orang-orang yang mendapatkan waris dari pihak laki-laki maupun perempuan, mereka terdiri dari tiga kelompok.
a.       Pihak laki-laki yang mendapatkan warisan terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
-          Suami. Jika seorang istri meninggal dunia, maka suaminya berhak mendapatkan bagian dari warisan yang ditinggalkannya, meskipun istrinya tersebut telah dithalak dan masih menjalani masa ‘iddahnya, tetapi jika telah selesai menjalani masa ‘iddahnya, maka suaminya tersebut tidak berhak mendapatkannya.
-          Orang yang memerdekakan budak yang telah meninggal dunia.
-          Kaum kerabat. Kaum kerabat ini terdiri dari ushul (garis lurus ke atas[ayah, kakek, dan terus ke atas]) dan faru’ (garis lurus ke bawah[anak laki-laki dan anak laki-laki dari anak laki-lakinya dan terus ke bawah]) serta hawasy (garis lurus ke samping[saudara laki-laki beserta anak-anak mereka dan terus ke bawah, juga saudara laki-laki seibu dan terus ke bawah, paman dan anak laki-laki dari paman dan terus ke bawah]).
b.      Orang-orang yang berhak mendapatkan warisan dari pihak perempuan terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
-          Istri.
-          Orang yang memerdekakan budak yang telah meninggal dunia.
-          Kaum kerabat yang terdiri atas ushul, furu’, dan haasyiyah.
Ushul (garis lurus ke atas) adalah: ibu, nenek dari ibu atau ayah. Furu’ (garis lurus ke bawah) adalah: anak perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah. Haasyiyah (garis lurus ke samping dari kerabat dekat) adalah: saudara perempuan saja.
Pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang piutang, baik utang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya. Yang termasuk ashhabul furudh adalah ayah, kakek dan terus lurus ke atas, saudara laki-laki dari ibu, dan suami. Mereka inilah golongan yang berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, tidak semua dari mereka mendapatkan bagian warisan, karena sebagian mereka menghalangi yang lainnya, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, jika dalam pembagian harta warisan semua orang yang tersebut di atas itu ada, maka yang berhak atas warisan itu hanya tiga: suami, anak laki-laki, dan ayah saja.
Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek—baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah—dan seterusnya. Yang termasuk ashhabul furudh adalah istri, anak perempuan, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari anak laki-laki, ibu, dan nenek.



DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Kamil M. ‘U. 2002. Fiqih Wanita Edisi Lengkap. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar

No comments:

Post a Comment