BAB
II. PEMBAHASAN
A.
Definisi
Waris
Secara bahasa, waris berarti berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain. Pengertian menurut bahasa ini mencakup pada
hal-hal yang berkaitan dengan harta benda dan nonharta benda. Sedangkan menurut
istilah, waris berarti berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal
kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.
B.
Sebab-sebab
Timbulnya Waris-mewarisi
Berkenaan
dengan pembagian harta warisan ini terdapat tiga sebab:
1. Perkawinan
Jika
salah seorang dari pasangan suami-istri meninggal dunia, maka dia meninggalkan
warisan kepada yang masih hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : ”Dan bagimu
(suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak.” (An-Nisaa’ :
12)
2. Hubungan
darah
Mereka
inilah yang disebut dengan hubungan keturunan yang sebenarnya, sebagaimana yang
difirmankan Allah SWT : “Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama
lain lebih berhak (waris mewarisi) di dalam Kitab Allah…” (Al-Ahzab : 6)
3. Wala’
Biasa
disebut nasab hukmi, sebagaimana yang
disabdakan Rasulullah SAW : “Wala’ itu
satu pertalian daging seperti pertalian daging nasab (keturunan).” (HR.
Ibnu Hibban, Hakim dan Ad-Darimiy)
Wala’
dibagi menjadi dua macam :
a. Wala’
yang merupakan hubungan kekerabatan yang ditetapkan syari’at antara orang yang
memerdekakan dengan hamba yang dimerdekakan.
b. Wala’
yang merupakan perjanjian antara dua orang, dimana masing-masing akan mewarisi
jika salah satu dari keduanya meninggal.
C.
Ahli
Waris
Berikut
ini ahli waris berdasarkan urutan dan derajatnya :
1. Ashhabul
furudh, adalah orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijma’.
2. Ashabat
nasabiyah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah), yaitu setiap kerabat (nasab)
pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika
ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta
peninggalan. Misalnya, anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki
pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung.
3. Penambahan
bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan
yang telah dibagikan kepada semua ahli waris masih juga tersisa, maka hendaknya
diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah
ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari
sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan karena adanya
ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan
tambahan dibandingkan lainnya.
4. Mewariskan
kepada kerabat. Yang dimaksudkan kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang
masih memiliki kaitan rahim—tidak termasuk ashhabul furudh juga ashabah.
Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara bibi), bibi (saudara ayah), cucu
laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan.
5. Tambahan
hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang
termasuk ashhabul furudh dan ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki
ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau
istri.
6. Ashhabah
karena sebab, ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki
maupun budak perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai
harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli
warisnya, dan sebagai ashabah.
7. Orang
yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris, adalah orang lain,
artinya bukan salah satu dari ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan
mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal, ia terlebih dahulu memberi wasiat
kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada
seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya.
8. Baitulmal
(kas Negara)
Apabila seseorang yang
meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat, maka seluruh harta
peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.
a. Yang
berhak mendapat bagian setengah dari harta warisan adalah:
-
Suami, yaitu apabila
istri yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan anak dan tidak ada anak dari
anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
-
Anak perempuan tunggal,
atau tidak mempunyai saudara yang lain.
-
Anak perempuan dari
anak laki-laki, yaitu jika tidak memiliki anak perempuan, serta tidak ada ahli
waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan.
-
Saudara perempuan
kandung, yaitu ketika ia seorang diri serta tidak ada orang yang
menghalanginya.
b. Yang
berhak mendapat bagian seperempat dari harta warisan adalah:
-
Suami, jika istri yang
meninggal dunia meninggalkan anak laki-laki atau perempuan dan atau
meninggalkan anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
-
Istri atau beberapa
istri (tidak lebih dari empat orang), jika suami yang meninggal dunia tidak
meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau tidak juga anak dari anak
laki-laki (baik laki-laki atau perempuan).
c. Yang
berhak mendapat bagian seperdelapan dari harta warisan adalah:
-
Istri atau beberapa
istri (tidak lebih dari empat orang), jika suaminya yang meninggal dunia itu
meninggalkan anak (laki-laki atau perempuan), atau anak dari anak laki-laki
(laki-laki atau perempuan).
d. Yang
berhak mendapat bagian dua pertiga dari harta warisan adalah:
-
Dua anak perempuan atau
lebih, dengan syarat tidak ada anak laki-laki.
-
Dua anak perempuan atau
lebih dari anak laki-laki, apabila tidak ada anak perempuan serta tidak ada
ahli waris lain yang menjadi penghalang dari perolehan warisan.
-
Dua orang saudara
perempuan kandung (seibu seayah) atau lebih, yaitu jika tidak ada ahli waris
lain yang menghalanginya.
-
Dua orang saudara
perempuan seayah atau lebih, yaitu ketika tidak ada saudara perempuan kandung
serta tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang perolehan warisan.
e. Yang
berhak mendapat bagian sepertiga dari garta warisan adalah:
-
Ibu, jika yang
meninggal dunia tidak meninggalkan anak atau anak dari anak laki-laki (cucu
laki-laki atau perempuan), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau
lebih, baik laki-laki maupun perempuan.
-
Dua saudara atau lebih
yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan, jika tidak ada orang lain yang
berhak menerima.
f. Yang
berhak mendapat bagian seperenam dari harta warisan adalah:
-
Ayah si mayit, jika
yang meninggal tersebut mempunyai anak atau anak dari anak laki-lakinya.
-
Ibu, jika dia mempunyai
anak atau anak dari anak laki-lakinya, atau beserta dua saudara kandung atau
lebih, baik saudara laki-laki maupun perempuan yang seibu seayah, seayah saja,
atau seibu saja.
-
Kakek (ayah dari ayah),
yaitu jika beserta anak atau anak dari anak laki-laki, dan tidak ada ayah.
-
Nenek (ibu dari ibu
atau ibu dari ayah), jika tidak ada ibu.
-
Satu orang anak
perempuan dari anak laki-laki (cucu) atau lebih, yaitu ketika bersama-sama
dengan seorang anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yanh
menghalanginya.
-
Saudara perempuan yang
seayah. Yaitu, ketika bersama-sama dengan saudara perempuan yang seibu seayah
(kandung), serta tidak ada ahli waris lain yang menghalanginya.
-
Saudara laki-laki atau
perempuan seibu, yaitu jika tidak ada yang menghalangi.
Selanjutnya berikut ini merupakan
penjelasan mengenai orang-orang yang mendapatkan waris dari pihak laki-laki
maupun perempuan, mereka terdiri dari tiga kelompok.
a. Pihak
laki-laki yang mendapatkan warisan terdiri dari tiga kelompok, yaitu:
-
Suami. Jika seorang
istri meninggal dunia, maka suaminya berhak mendapatkan bagian dari warisan
yang ditinggalkannya, meskipun istrinya tersebut telah dithalak dan masih
menjalani masa ‘iddahnya, tetapi jika telah selesai menjalani masa ‘iddahnya,
maka suaminya tersebut tidak berhak mendapatkannya.
-
Orang yang memerdekakan
budak yang telah meninggal dunia.
-
Kaum kerabat. Kaum
kerabat ini terdiri dari ushul (garis
lurus ke atas[ayah, kakek, dan terus ke atas]) dan faru’ (garis lurus ke bawah[anak laki-laki dan anak laki-laki dari
anak laki-lakinya dan terus ke bawah]) serta hawasy (garis lurus ke samping[saudara laki-laki beserta anak-anak
mereka dan terus ke bawah, juga saudara laki-laki seibu dan terus ke bawah, paman
dan anak laki-laki dari paman dan terus ke bawah]).
b. Orang-orang
yang berhak mendapatkan warisan dari pihak perempuan terdiri dari tiga
kelompok, yaitu:
-
Istri.
-
Orang yang memerdekakan
budak yang telah meninggal dunia.
-
Kaum kerabat yang
terdiri atas ushul, furu’, dan haasyiyah.
Ushul
(garis lurus ke atas) adalah: ibu, nenek dari ibu atau ayah. Furu’ (garis lurus ke bawah) adalah:
anak perempuan dan anak perempuan dari anak laki-laki dan terus ke bawah. Haasyiyah (garis lurus ke samping dari
kerabat dekat) adalah: saudara perempuan saja.
Pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya
bersangkutan dengan utang piutang, baik utang itu berkaitan dengan pokok
hartanya (seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan
dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau
mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Bagi cucu laki-laki
yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan
seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu
pula yang dimaksud dengan kakek, dan seterusnya. Yang termasuk ashhabul furudh
adalah ayah, kakek dan terus lurus ke atas, saudara laki-laki dari ibu, dan
suami. Mereka inilah golongan yang berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi,
tidak semua dari mereka mendapatkan bagian warisan, karena sebagian mereka
menghalangi yang lainnya, dan begitu seterusnya. Sebaliknya, jika dalam
pembagian harta warisan semua orang yang tersebut di atas itu ada, maka yang berhak
atas warisan itu hanya tiga: suami, anak laki-laki, dan ayah saja.
Cucu
perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang
penting perempuan dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud
dengan nenek—baik ibu dari ibu maupun ibu dari ayah—dan seterusnya. Yang
termasuk ashhabul furudh adalah istri, anak perempuan, saudara perempuan
kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, anak perempuan dari
anak laki-laki, ibu, dan nenek.
DAFTAR
PUSTAKA
Syaikh Kamil M. ‘U. 2002. Fiqih Wanita Edisi Lengkap. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar
No comments:
Post a Comment