Thursday 25 August 2016

SECUIL KEBAHAGIAAN Oleh Wening Sekar S.

SECUIL KEBAHAGIAAN
Oleh Wening Sekar S.

Ini adalah sebuah kisah seorang anak perempuan bernama Wasi yang berumur 17 tahun, penyendiri, dan berharap suatu keajaiban dongeng akan menghampirinya. Ia mengharapkan keajaiban dongeng karena dia merasa hidupnya begitu hambar.

“Dua hari yang lalu kita tes matematika. Tapi aku sama sekali tak merasa resah. Secara otomatis aku mempelajari materi yang menjadi bahan tes, tapi sama sekali tak memiliki keresahan tidak mampu ataupun kepercayaan diri akan berhasil. Benar-benar tak ada letupan perasaan dalam diriku.” Dan temannya, Via, akan menimpali, “Kau aneh.”dengan mata menyipit sebelah dan menatapnya cukup lama dengan mengernyitkan wajah.

“Lalu setelah selesai mempelajari materi, aku mendaratkan tubuhku ke kasur dengan novel di tangan. Akhirnya dari jam tujuh sampai jam dua belas malam aku melahap novel itu, lalu tidur.” Lanjut Wasi yang akan ditimpali Via, “Kau gila.”

“Aku hanya merasa yakin akan baik-baik saja. Dan lagipula aku sudah mempelajarinya. Nilai jelek tak akan membuatmu mati.” Pernyataan ini pun memiliki efek yang sama dari Via, “Kau benar-benar sinting.”

“Ah, aku butuh liburan ke negeri ajaib. Kenapa tak ada kelinci berompi yang membawa jam saku datang padaku sambil berkata,’Kita sudah tak punya waktu lagi.’” Wasi menghempaskan tubuhnya ke kasur. Tangannya telentang ke atas kepala sambil sedikit mendesah.

“Itu juga tak akan membuatmu mati jika tak mendapatkannya.” Via mengucapkannya tanpa memperhatikan Wasi. Ia duduk dengan tenang di kursi belajarnya sambil masih membuat ringkasan pelajaran biologi.

“Tidak, itu akan membuatku mati; mati bosan.” Wasi menggelindingkan tubuhnya di kasur mengarah ke Via. Ia menatap lama temannya itu. “Apa?” tanya Via. Dia sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari buku di hadapannya.

“Kau bisa merasakan kalau aku sedang menatapmu?” Wasi mendongakkan tubuhnya. Matanya sedikit terbelalak dan dia berusaha mengumpulkan perasaan menyenangkan dari satu fakta alami ini. Dia berusaha dengan keras, “Aku akan bilang kau hebat, masalahnya aku kecewa pada diriku sendiri.” Sekarang Via menatapnya, “Apa maksudmu kecewa?”

“Kupikir aku seperti Jean-Baptiste Grenouille; tak bisa dirasakan keberadaannya dan tak memiliki aroma tubuh.” Mata Wasi berbinar. Itu berarti kepalanya sedang dipenuhi imajinasi. Satu lagi tanda ketika ia sedang dipenuhi imajinasi; mulutnya terbuka dan tangannya berada di satu posisi dramatik. “Kau pikir kau hantu? Jangan ngawur.” Via memukulkan buku catatannya ke kepala Wasi. Ini selalu berhasil membawa Wasi kembali ke dunia nyata, “Sebaiknya kau mulai belajar. Besok ada tes biologi.”

“Kau mau dengar cerita yang kubuat tentang impuls?” ini cukup mengasyikkan untuk Wasi; menggabungkan materi sekolah dengan cerita heroik, romantik, dan dramatik. Wasi sibuk mencari buku biologinya di tas.

Via memberinya saran untuk mengirimkan cerita-cerita Wasi ke majalah atau membuat buku kumpulan cerita pendeknya sendiri, tapi Wasi selalu tak percaya diri. “Andai aku paham cara menulis, akan kuberi dia saran dan masukan agar lebih percaya diri pada ceritanya.” Via selalu berpikir seperti itu setiap kali dia gagal meyakinkan Wasi bahwa karangannya bagus.

Wasi membuka buku biologinya. Mencari bab tentang sitem regulasi manusia dan berhenti di sub bab prinsip penghantaran impuls. Via duduk di samping Wasi. Mereka duduk di karpet kamar. “Kau belum menuliskannya di buku ceritamu?” Via bertanya saat Wasi sibuk membuka-buka lembaran buku teks biologi. “Baru tadi kubuat saat Pak Wali menerangkan bab ini. Hari ini buku ceritanya tertinggal di rumah.” Jawab Wasi yang ditimpali Via, “Tumben.”

“Aku ganti tas. Ibu sedikit sensitif karena dari kemarin aku belum memakai tas pemberiannya.”

“Ibu membelikanmu tas?”

“Aku tahu, aku senndiri juga kaget.” Wasi diam sebentar, “Nah ini dia.”

Via membenahi posisi duduknya, siap mendengarkan cerita Wasi.

“Perjalanan Raja Impulsa di Negeri Kepulauan Neuron.” Wasi mulai membacakan ceritanya.

“Itu judulnya?”

“Yap. Sekarang diamlah, dengarkan sampai selesai.”

“Oke, maaf.”

Wasi pandai berimajinasi dan menuliskan cerita, tapi ia sama sekali tak pandai bercerita. Tak ada nyawa, bisa kau bilang begitu. Hanya ketika kepalanya dipenuhi imajinasi saja mata Wasi berbinar mengisyaratkan jiwa, nyawa, dan perasaan dari tubuhnya.

“Raja Impuls hidup di Negeri Kepulauan Neuron. Sebuah negeri besar yang hijau dan berada di puncak daratan yang amat tinggi. Kau bisa menyentuh awan, merasakan udara yang segar, dan melihat cahaya-cahaya indah baik di atas daratan negeri itu maupun di bawahnya. Meskipun cahaya-cahaya itu indah, tapi kau harus berhati-hati, mereka akan melukaimu, bahkan meskipun cahaya-cahaya itu tak bermaksud melukaimu.

“Raja Impuls memerintah sebuah peradaban masyarakat yang disebut Istana Akson. Untuk melindungi rakyatnya, yang tinggal di Istana Akson dari cahaya-cahaya indah, Raja Impuls membuat selubung putih myelin. Myelin dibuat dari banyak bahan Schwann. Ia akan melindungi rakyat di Istana Akson dari cahaya-cahaya indah dengan masih dapat melihat keindahan cahaya-cahaya itu. Daerah yang tak ditinggali rakyat Istana Akson tak diselubingi myelin. Daerah itu disebut Nodus Ranvier. Nodus Ranvier adalah daerah terhijau dan terbiru di Negeri Kepulauan Neuron.

“Raja Impuls memiliki satu takdir; setelah berhasil membuat selubung myelin di sebuah pulau, Raja Impuls harus beralih ke pulau berikutnya untuk membuat selubung myelin di Istana Akson yang lain. Selain membuatkan selubung myelin, Raja Impuls juga membentuk pasukan militer Permeabilitas yang akan melindungi dan membantu rakyat di Istana Akson jika tiba saatnya Raja Impuls pergi.

“Ketika tiba saatnya Raja Impuls pergi, ia akan pergi sendirian, tanpa dikawal. Dia harus pergi sampai ke Gerbang Pra-Sinaps di ujung terluar Istana Akson. Gerbang Pra-Sinaps adalah gerbang keluar dari sebuah pulau Neuron. Dari Gerbang Pra-Sinaps, Raja Impuls berjalan menuju Gerbang Post-Sinaps yang berada di sisi lain pulau Neuron. Gerbang Post-Sinaps berada di Kerajaan Dendrit, sebuah Kerajaan yang harus dilewati sebelum menuju peradaban Istana Akson. Di Kerajan Dendrit terdapat banyak rawa, sungai, dan tumbuhan air. Sedikit yang dibisa dilewati dengan kaki, tapi cukup indah untuk dilewati.

“Dari pintu Gerbang Pra-Sinaps menuju pintu Gerbang Post-Sinaps terdapat perbatasan yang disebut Celah Sinaps. Perbatasan Celah Sinaps ini berupa jurang dalam yang tidak pernah diketahui seberapa dalamnya. Raja Impuls tak mampu melewatinya begitu saja. Kaki-kaki Raja Impuls tidak cukup panjang untuk melompat menyeberangi perbatasan itu. Tapi itu bukan hal yang harus dicemaskan. Terdapat satu suku yang tugasnya mengawal Raja Impuls menyeberangi perbatasan Celah Sinaps. Suku itu bernama Neurotransmitter. Selain menjadi pengawal Raja Impuls saat menyeberangi Celah Sinaps, Neurotransmitter juga bertugas sebagai penjaga pintu Gerbang Pra Sinaps.

“Selain dibantu suku Neurotransmitter, penyeberangan Raja Impuls juga dibantu pasukan militer Permeabilitas yang menjaga daerah itu. Mereka menyediakan kereta kencana Ion Ca. Dan berkat bantuan banyak pihak, Raja Impuls berhasil menyeberang untuk menunaikan tugasnya di Negeri Kepulauan Neuron.”

Wasi menutup bukunya. Dia memandang Via. Matanya berbinar, terlihat sangat puas, “Bagaimana menurutmu?”

“Kau harus membuat negeri itu lebih hidup. Itu sungguh bagus.” Jawab Via. Imajinasi Wasi selalu dapat mengejutkannya. Ia pikir Wasi adalah seorang penyusun cerita yang hebat.

“Kau menyukainya? Ini seperti sketsa. Kutulis dengan cepat saat ide itu datang.” Wasi membereskan bukunya, mengambil tasnya, lalu memasukkannya ke dalam tas.

“Aku sangat suka. Kembangkanlah. Aku ingin tahu bagaimana negeri kepulauan itu, aku ingin tahu apa cahaya-cahaya indah yang membahayakan itu, aku ingin tahu bagaimana orang-orang di Istana Akson hidup, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang Raja Impuls.” Via bersungguh-sungguh yang ditimpali Wasi, “Bacalah buku teks biologimu dan kau akan tahu semua itu.” Wasi berbenah diri dan membereskan barang-barangnya. Hal ini mengundang tanya Via, “Kau sudah mau pulang?”

“Aku rasa aku harus pulang.”

“Tapi kau bahkan belum mulai belajar. Jangan bilang kau tidak akan belajar untuk ujian besok dan malah mau melanjutkan membaca novel baru itu.” Via menunjuk pada novel yang baru akan dimasukkan Wasi ke dalam tas. Wasi nyengir lalu berdiri, berjalan menuju pintu, “Kau tahu aku dengan sangat baik.” Via memukulkan buku tulisnya pada Wasi, “Dasar kau.”
***
Wasi menarik lengan Via, “Kau lihat orang itu? Dia memperhatikan kita terus.” Wasi berbicara berbisik seolah orang yang dia bicarakan akan bisa mendengarnya bicara. Mereka sedang berada di pameran buku. Tapi mereka sedang mengantri makanan; sosis besar dengan harum merica dan paprika yang menyegarkan sedang dipanggang.

“Ah, aku tahu orang itu. Kau tunggu di sini.” Via berjalan mendekati orang yang Wasi bicarakan. Via datang bersama orang itu. “Nah, Wasi, ini sepupuku yang kuceritakan tadi, namanya Lintang. Aku mengajaknya datang bersama tapi tadi dia ada urusan.” Via memperkenalkan mereka.

“Hai, aku Lintang.” Dia menjabat tangan Wasi. Wasi meraih jabatan tangannya, “Wasi.” Wasi menarik Via, sedikit menjauh dari Lintang sambal berbisik, “Kau tahu aku tak pandai bergaul, kenapa kau ajak dia bersama kita?” mukanya cukup menunjukkan kalau Wasi terganggu dengan kehadiran orang itu.

“Ada yang ingin kukatakan pada kalian berdua. Sosisnya matang, ayo cari tempat.” Ya, terlalu berisik di sana untuk bicara. Pameran buku itu cukup ramai dikunjungi banyak orang. Mereka mendapatkan tempat duduk untuk makan jauh di ujung tempat pameran buku. Ada kursi taman di sana, dekat dengan pintu keluar parker motor, tak begitu ramai.

“Jadi apa yang ingin kau bicarakan?” Lintang memulai. Via menjawab dengan, “Lintang, ini Wasi yang kuceritakan padamu kemarin.” Via memulai, “Dia cukup pemalu, dia penyendiri dan tidak mudah bergaul dengan orang baru.”

“Hm, terima kasih.” Sela Wasi. Via menatapnya. “Oke, lanjutkan.” Kata Wasi kemudian. Via melanjutkan kalimatnya, “Kau bekerja di majalah, dan aku yakin kau mengerti banyak tentang menulis. Aku ingin kau membantu Wasi mengembangkan bakat menulisnya. Aku suka cerita-cerita Wasi, tapi dia selalu tak percaya diri dengan ceritanya sendiri dan selalu menolak saranku untuk coba mengirimkannya ke majalah. Jadi kupikir, jika orang yang mengerti tentang menulis yang memberinya saran, itu akan membuat Wasi lebih percaya diri pada hasil tulisannya. Dia imajinatif. Dia bahkan membuat cerita dari materi biologi. Bagiku itu mengesankan. Apa pendapatmu, Lintang?”

“Kau memandangku berlebihan, Via.” Kata Lintang. Wasi menambah, “Padaku juga.”

“Kau mungkin harus membacanya sendiri.” Kata Via. Dia meraih tas Wasi, membukanya tanpa sedetikpun berhenti untuk mengatakan apa maksudnya pada Wasi, lalu mengeluarkan buku tulis kumpulan cerita Wasi, “Ini buku sketsa ceritanya. Bacalah.”

“Kau bercanda, Via.” Kata Wasi.

Via menatapnya. Cukup meyakinkan Wasi bahwa dia tak bercanda. Wasi pasrah, sambal lanjut mengunyah sosis enaknya, “Kau mau menghabiskan sosisnya?” tanya Wasi. “Makanlah. Aku terlalu bersemangat untuk makan.” Via menyerahkan sosisnya. Senyumannya cukup jelas menunjukkan semangat yang dia katakan.

Lintang membuka lembaran buku tulis kumpulan cerita Wasi. Via memperhatikan dengan tenang, matanya membelalak berbinar, semangatnya terpancar dari matanya. Wasi melanjutkan makan sosis dengan hati yang gundah. Lagipula dia tak bisa menolak apa yang Via lakukan, tak pernah bisa. Via selalu punya kekuatan khusus yang tak bisa Wasi lawan. Mereka berteman dengan cara yang unik.

Sementara Lintang membaca, Wasi yang telah menghabiskan dua sosis jumbo mengajak Wasi menyingkir sebentar. Ia bicara dengan berbisisk, “Kau gila. Aku selalu tahu kau lebih gila daripada aku. Tapi tak kusangkan kau segila ini.”

“Ini akan menyenangkan. Kau tak perlu khawatir.”

“Bagaimana jika dia tak tahan dengan sikap diamku? Bagaimana kalau ceritaku begitu kekanak-kanakan untuknya? Aku hanya akan merasa malu dan bodoh.” Tak hanya penyendiri, Wasi juga pemalu. Kombinasi yang tepat untuk memunculkan pemikiran seperti itu.

“Aku akan selalu bersamamu. Aku yang akan mencairkan suasana. Kau tenang saja. Kau hanya perlu berkonsentrasi pada ceritamu.”

“Kau janji kau akan selalu ada?” pertanyaan Wasi yang dijawab Via dengan mantap, “Aku janji.” Dan akhirnya Wasi luluh, “Baiklah.”

Mereka berjalan kembali ke tempat Lintang. Lintang masih belum selesai membaca. Dia tersenyum-senyum sendiri. Wasi menyikut Via, berbisik, “Lihat reaksinya. Sudah kubilang ceritaku tak bagus.” Namun Via hanya tersenyum, “Tenanglah. Diam saja dulu!” Wasi menundukkan kepalanya, “Kau hanya akan mempermalukanku.” Dia tak bisa diam, gelisah di tempatnya duduk.

“Tidak. Aku bukan tersenyum karena ini jelek atau menertawakan ceritamu. Aku tersenyum karena ceritamu begitu jujur, polos, mengalir, dan memberikan sensasi yang membuatku ingin tersenyum. Tapi bukan berarti jelek.” Lintang bicara.

“Oh bagus, kau mendengarnya.”

“Ayolah Wasi, ini bukan hal yang memalukan. Lagipula kau tak harus segelisah ini. Tes matematika saja bisa kau hadapi tanpa gelisah.” Via mencoba meyakinkan Wasi.

“Kau tahu, beberapa ceritamu bisa dimuat di majalah tempatku bekerja. Temanya sesuai untuk pembaca kami. Tapi memang harus ada sedikit editing. Apa kau mau merevisinya?” bagi Via, kata-kata Lintang ini adalah bukti bahwa dia selama ini benar; Wasi punya bakat dan ceritanya bagus.

“Well, kalau kalian bilang bagus, apa salahnya kucoba.”

“Nah, begitu dong. Ah, aku harus bekerja keras untuk meyakinkanmu. Akhirnya aku berhasil.” Via memeluk Wasi. Jelas terlihat betapa ia senang dengan perkembangan ini. “Kau tahu, jika kau mendapat fee kau harus membaginya denganku. Aku ini manajermu.”

“Oh, selamat Via sang penemu bakat dan manajer yang baik.”

“Oh ayolah, kau harus mengakuinya, Wasi.” Dan mereka tersenyum bersama.

Dan begitulah secuil kebahagiaan yang dapat dirasakan karena seorang sahabat. Perasaan hangat ketika ada seseorang yang menerimamu apa adanya. Perasaan manis menyenangkan ketika kau ingin melihat temanmu berhasil. Perasaan hangat karena kalian ada untuk satu sama lain.

Kehidupan tak akan begitu hambar ketika kau menikmati perasaan-perasaan hangat dan manis dari tindakan baik orang-orang di sekitar kita. Seraplah, rasakanlah, dan nikmatilah bagian kecil keindahan dunia.

Friday 19 August 2016

Setetes Kehidupan Seorang Outsider

Mempercayai dan tidak mempercayai suatu hal pada saat yg sama -> salah satu dilema yg dihadapi seorang outsider.

Kami melihat semuanya, percaya bahwa kami mengetahui alasan kenapa ada orang yg percaya pada suatu hal dan ada pula yg tidak. Kami bilang pada diri kami sendiri, "Percaya atau tidak percaya pada suatu hal itu tergantung pada pengalaman yg diberikan alam pada seseorang. Pengalaman akan menuntun manusia menuju hal-hal yg berbeda."
Lalu ketika seseorang bertanya pada kami, "Jadi apakah kau percaya atau tidak pada hal itu?" Jawaban kami adalah, "Percaya dan tidak percaya di saat yg sama, tergantung keadaan yg kami hadapi."

Orang-orang insider mengalami pengalaman nyata dalam hidup mereka; kamu mengalaminya, lalu pengalaman itu masuk ke dalam dirimu dan mempengaruhi perasaan dan cara berpikirmu. Secara nyata kamu mengalaminya dalam tubuh fisikmu dan melihatnya sebagai suatu hal yg terhubung padamu; pengalaman itu terjadi padamu sehingga pengalaman itu terhubung dengan dirimu menjadi bagian darimu.

Berbeda halnya dengan outsider. Kami tidak mengalami pengalaman secara langsung dalam tubuh fisik. Kami mendengar dan melihat orang-orang mengalami suatu pengalaman, lalu kami menganalisisnya memecahnya menjadi beberapa keping sifat seperti potongan puzzle yg bisa disatukan pada apapun yg memiliki bentuk yg saling terkait, lalu kami membayangkan perasaan yg timbul akibat mengalami suatu pengalaman, lalu kami kembali menganalisa apa kira-kira dampaknya pada orang-orang yg memiliki karakteristik yg berbeda. Tapi, voila, kami jarang dikunjungi pengalaman-pengalaman. Dan jika pengalaman itu datang kami tidak merasa terhubung olehnya, tidak merasa bahwa pengalaman itu adalah bagian dari diri kami.

Keuntungannya untuk kami adalah bahwa kami tidak pernah dipusingkan pada pemikiran adanya masalah. Kami tahu bahwa pengalaman itu tugasnya datang pada manusia yg hidup, jadi kami menganggap hal itu sebagai kewajaran dan tidak menganggap apapun yg mendatangi kami sebagai masalah. Tapi kerugiannya bagi kami ketika kami terlena pada "kewajaran" itu adalah perasaan bagaikan robot, kami merasa tidak hidup. Itulah kenapa alasan hidup kami adalah untuk merasa hidup, dan bukan alasan-alasan dengan nilai moral dan nilai luhur untuk bahu membahu menolong umat manusia.

Kami berjalan di bumi dengan mengenakan topeng insider, berharap dapat berbaur dengan orang-orang lainnya dan mengemukakan bahwa tujuan hidup kami sama bermoral dan sama luhurnya dengan semua orang, meskipun sebenarnya kami outsider yang tujuan hidupnya hanyalah ingin bisa merasakan sensasi hidup itu sendiri, "Aku hanya ingin bisa merasa."